A. Teori Tentang Sumber Kejiwaan Agama
1. Teori Monoistik (Mono=satu)
Teori Monoistik berpendapat, bahwa yang menjadi Sumber Kejiwaan Agama adalah satu sumber kejiwaan.sesuai dengan masanya, Thomas van Aquino mengemukakan bahwa yang menjadi sumber kejiwaan agama itu ialah berfikir. Manusia ber-Tuhan karena manusia menggunakan kemampuan berfikirnya. Kehidupan beragama merupakan refleksi dari kehidupan berfikir manusia itu sendiri. Pandangan semacam ini masih tetap mendapat tempat hingga sekarang dimana para ahli mendewakan rasio sebagai satu-satunya motif yang menjadi sumber agama.
2. Teori Fakulti (Fakulty Theory)
Teori ini berpendapat bahwa tingkah laku manusia itu tidak bersumber pada suatu faktor yang tunggal tetapi terdiri atas beberapa unsure, antara lain yang dianggap memegang peranan penting adalah fungsi cipta (Reason), rasa (Emotion) dan karsa (Will)
Dr. Zakiyah Darajat berpendapat, bahwa pada diri manusia itu terdapat kebutuhan pokok. Beliau mengemukakan, selain dari kebutuhan jasmani dan kebutuhan rohani. Manusiapun mempunyai suatu kebutuhan akan adanya kebutuhan akan keseimbangan dalam kehidupan jiwanya agar tidak mengalami tekanan.
Unsur-unsur kebutuhan yang dikemukakan yaitu :
1) kebutuhan akan rasa kasih sayang
2) kebutuhan akan rasa aman
3) kebutuhan akan rasa harga diri
4) kebutuhan akan rasa bebas
5) kebutuhan akan rasa sukses
6) kebutuhan akan rasa ingin tahu
Menurut Zakityah Darajat, gabungan dari keenam macam kebutuhan tersebut menyebabkan orang memerlukan agama. Melalui agama kebutuhan-kebutuhan tersebut dapat disalurkan. Dengan melaksanakan ajaran agama secara baik, maka kebutuhan akan rasa kasih sayang, rasa aman, rasa harga diri, rasa bebas, rasa sukses dan rasa ingin tahu akan terpenuhi.
B. Timbulnya Jiwa Keagamaan pada Anak
Menurut beberapa ahli, anak dilahirkan bukanlah sebagai mahluk yang religius. Anak yang baru dilahirkan lebih mirip binatang, bahkan mereka mengatakan anak seekor kera lebih bersifat kemanusiaan daripada bayi manusia itu sendiri. Selain itu, ada pula yang berpendapat sebaliknya, bahwa anak sejak dilahirkan telah membawa fitrah keagamaan. Fitrah itu baru berfungsi di kemudian hari melalui proses bimbingan dan latihan setelah berada pada tahap kematangan.
Menurut tinjauan, pendapat pertama bayi dianggap sebagai manusia dipandang dari segi bentuk dan bukan kejiwaan. Apabila bakat elementer bayi lambat bertumbuh dan matang, maka agak sukarlah untuk melihat adanya keagamaan pada dirinya. Meskipun demikian, ada yang berpendapat, bahwa tanda-tanda keagamaan pada dirinya tumbuh terjalin secara integral dengan perkembangan fungsi-fungsi kejiwaan lainnya. Jika demikian, maka apakah faktor yang dominan dalam perkembangan ini? Dalam membahas masalah tersebut, marilah kita kemukakan beberapa teori mengenai pertumbuhan agama pada anak itu antara lain :
1. Rasa ketergantungan ( Sense of Depend )
Teori ini dikemukakan oleh Thomas melalui teori Four Wishes. Menurutnya, manusia dilahirkan ke dunia ini memiliki empat keinginan yaitu : keinginan untuk perlindungan (security), keinginan akan pengalaman baru (new experience), keinginan untuk mendapat tanggapan (response), dan keinginan untuk dikenal (recognition). Berdasarkan kenyataan dan kerja sama dari keempat keinginan itu, maka sejak bayi dilahirkan hidup dalam ketergantungan, melalui pengalaman-pengalaman yang diterimanya dari lingkungan itu kemudian terbentuklah rasa keagamaan pada diri anak.
2. Insting keagamaan
Menurut Woodworth, bayi yang dilahirkan sudah memliki beberapa insting diantaranya insting keagamaan. Belum terlihatnya tindak keagamaan pada diri anak karena beberapa fungsi kejiwaan yang menopang kematangan berfungsinya insting itu belum sempurna. Misalnya, insting social pada anak sebagai potensi bawaannya sebagai mahluk homo sosius, baru akan berfungsi setelah anak dapat bergaul dan berkemampuan untuk berkomunikasi. Jadi, insting sosial itu tergantung dari kematangan fungsi lainnya. Demikian pula insting keagamaan.
C. Perkembangan Agama pada Anak-anak
Menurut penelitian Ernest Harms perkembangan agama anak-anak itu melalui beberapa fase (tingkatan). Dalam bukunya The Development of Religius on Childern, ia mengatakan bahwa perkembangan agama pada anak-anak itu melalui tiga tingkatan, yaitu :
1. The Fairy Tale Stage (Tingkat Dongeng).
Tingkatan ini dimulai pada anak yang berusia 3 – 6 tahun. Pada tingkatan ini konsep mengenai Tuhan lebih banyak dipengaruhi oleh fantasi dan emosi. Pada tingkatan perkembangan ini anak menghayati konsep ke-Tuhanan sesuai dengan tingkat perkembangan intelektualnya. Kehidupan masa ini masih banyak dipengaruhi kehidupan fantasi, hingga dalam menanggapi agama pun anak masih menggunakan konsep fantastis yang diliputi oleh dongeng-dongeng yang kurang masuk akal.
2. The Realistic Stage (Tingkat Kenyataan)
Tingkat ini dimulai sejak anak masuk Sekolah Dasar hingga ke usia (masa usia) adolesense. Pada masa ini, ide ke-Tuhanan anak sudah mencerminkan konsep-konsep-konsep yang berdasarkan kepada kenyataan (realitas). Konsep ini timbul melalui lembaga-lembaga keagamaan dan pengajaran agama dari orang dewasa lainnya. Pada masa ini ide keagamaan anak didasarkan atas dorongan emosional, hingga mereka dapat melahirkan konsep Tuhan yang formalis. Berdasarkan hal itu, maka pada masa ini anak-anak tertarik dan senang pada lembaga keagamaan yang mereka lihat dikelola oleh orang dewasa dalam lingkungan mereka. Segala bentuk tindak (amal) keagamaan mereka ikuti dan pelajari dengan penuh minat.
3. The Individual Stage (Tingkat Individu)
Pada tingkat ini anak telah memiliki kepekaan emosi yang paling tinggi sejalan dengan perkembangan usia mereka. Konsep keagamaan yang individualistis ini terbagi atas tiga golongan, yaitu:
a. konsep ke-Tuhanan yang konvensional dan konservatif dengan dipengaruhi sebagian kecil fantasi. Hal tersebut disebabkan oleh pengaruh luar.
b. Konsep ke-Tuhanan yang lebih murni yang dinyatakan dalam pandangan yang bersifat personal (perorangan)
c. Konsep ke-Tuhanan yang bersifat humanistik. Agama telah menjadi etos humanis pada diri mereka dalam menghayati ajaran agama. Perubahan ini setiap tingkatan dipengaruhi oleh faktor intern, yaitu perkembangan usia dan faktor ekstern berupa pengaruh luar yang dialaminya.
D. Sifat-sifat Agama pada Anak
Memahami konsep keagamaan pada anak-anak berarti memahami sifat agama pada anak-anak. Sesuai dengan cirri yang mereka miliki, maka sifat agama pada anak tumbuh mengikuti pola ideas concept on outbority. Ide keagamaan pada anak hampir sepenuhnya autoritarius, maksudnya konsep keagamaan pada diri mereka dipengaruhi oleh faktor dari luar diri mereka. Hal tersdebut dapat dimengerti karena anak sejak usia muda telah melihat dan mempelajari hal-hal yang berada di luar diri mereka. Mereka telah melihat dan mengikuti apa yang dikerjakan dan diajarkan orang dewasa dan orang tua mereka tentang sesuatu yang berhubungan dengan kemaslahatan agama. Orang tua mempunyai pengaruh terhadap anak sesuai dengan prinsip eksplorasi yang mereka miliki. Dengan demikian, ketaatan kepada ajaran agama merupakan kebiasaan yang menjadi milik mereka yang mereka pelajari dari para orang tua maupun guru mereka. Bagi mereka sangat mudah untuk menerima ajaran dari orang dewasa, walaupun belum mereka sadari sepenuhnya manfaat ajaran tersebut. Berdasarkan hal itu, maka bentuk dan sifat agama pada diri anak dibagi atas:
1. Unreflective (Tidak mendalam)
Dalam penelitian Machion tentang sejumlah konsep ke-Tuhanan pada diri anak, 73% menganggap Tuhan itu sifat seperti manusia. Penelitian Praff mengemukakan contoh tentang hal itu. Suatu peristiwa, seorang anak mendapat keterangan dari ayahnya bahwa Tuhan selalu mengabulkan permintaan hambanya. Kebetulan, seorang anak lewat di depan sebuah toko mainan. Sang anak tertarik pada sebuah topi berbentuk kerucut. Sekembalinya ke rumah, ia langsung berdo’a kepada Tuhan untuk apa yang diinginkannya itu. Karena hal itu diketahui oleh ibunya, maka ia ditegur. Ibunya berkata bahwa dalam berdo’a tak boleh seseorang memaksakan Tuhan untuk mengabulkan barang yang diingininya itu. Mendengar hal tersebut anak tadi langsung mengemukakan pertanyaan, “mengapa”?
2. Egosentris
Anak memiliki kesadaran akan diri sendiri sejak tahun pertama usia perkembanganya dan akan berkembang sejalan dengan pertambahan pengalamannya. Apabila kesadaran akan diri itu mulai subur pada diri anak, maka akan tumbuh keraguan pada rasa egonya. Semakin bertumbuh semakin meningkat pula egoisnya, sehubungan dengan hal itu maka dalam masalah keagamaan anak telah menonjolkan kepentingan dirinya dan telah menuntut konsep keagamaan yang mereka pandang dari kesenangan pribadinya. Seorang anak yang kurang mendapat kasih saying dan selalu mendapat tekanan akan bersifat kekanak-kanakan (childish) dan memiliki sifat ego yang rendah. Hal yang demikian mengganggu pertumbuhan keagamaannya.
3. Anthromorphis
Pada Umumnya, konsep mengenai ketuhanan pada anak berasal dari pengalamanyadi kala ia berhubungan dengan orang lain. Tapi suatu kenyataan bahwa konsep ke-Tuhanan mereka tampak jelas menggambarkan aspek-aspek kemanusiaan.
Melalui konsep yang terbentuk dalam pikiran, mereka menganggap bahwa keadaan Tuhan itu sama dengan manusia. Pekerjaan Tuhan mencari dan menghukum orang yang berbuat jahat di saat orang itu berada di tempat yang gelap.
Surga terletak di langit dan tempat untuk orang yang baik. Anak menganggap bahwa Tuhan mampu melihat perbuatannya langsung ke rumah-rumah mereka sebagai layaknya orang mengintai. Pada anak yang berusia enam tahun, menurut penelitian Praff, pandangan anak terhadap Tuhan adalah sebagai berikut:
Tuhan mempunyai wajah seperti manusia, telinganya lebar dan besar. Tuhan tidak makan tetapi hanya minum embun.
Konsep ke-Tuhanan yang demikian itu mereka bentuk sendiri berdasarkan fantasi masing-masing.
4. Verbalis dan Ritualis
Dari kenyataan yang kita alamiternyata, kehidupan agama pada anak sebagian besar tumbuh mula-mula secara verbal (ucapan). Mereka menghafal secara verbal kalimat-kalimat keagamaan dan selain itu pula dari amaliah yang mereka laksanakan berdasarkan pengalaman menurut tuntunan yang diajarkan kepada mereka. Sepintas lalu, kedua hal tersebut kurang ada hubunganya dengan perkembangan agama pada anaka di masa selanjutnya, tetapi menurut penyelidikan hal itu sangat besar pengaruhnya terhadap kehidupan agama anak itu diusia dewasa. Bukti menunjukkan bahwa banyak orang dewasa yang taat karena pengaruh ajaran dan praktek keagamaan yang dilaksanakan pada masa kanak-kanak mereka. Sebaliknya, belajar agama di usia dewasa banyak mengalami kesukaran. Latihan-latihan bersifat verbalis dan upacara ritualis (praktik) merupakan hal yang berarti dan merupakan salah satu ciri dari tingkat perkembangan agama pada anak-anak.
5. Imitatif
Dalam kehidupan sehari-hari dapat kita saksikan bahwa tindak keagaan yang dilakukan oleh anak-anak pada dasarnya diperoleh dari meniru. Berdo’a dan salat misalnya, mereka laksanakan karena hasil melihat perbuatan di lingkungan, baik berupa pembiasaan ataupun pengajaran yang intensif. Para ahli jiwa menganggap bahwa dalam segala hal anak merupakan peniru yang ulung. Sifat peniru ini merupakan modal yang positif dalam pedidikan keagamaan pada anak.
Menurut penelitian Gillesphy dan Young terhadap sejumlah mahasiswa di salah satu perguruan tinggi menunjukkan, bahwa anak yang tidak mendapatkan pendidikan agama dalam keluarga tidak akan dapat diharapkan menjadi pemilik kematangan agama yang kekal.
Walaupun anak mendapat ajaran agama tidak semata-mata berdasarkan yang mereka peroleh sejak kecil, namun pendidikan keagamaan (religious paedagogis) sangat mempengaruhi terwujudnya tingkah laku keagamaan (religious behaviour) melalui sifat meniru itu.
6. Rasa heran
Rasa heran dan kagum merupakan tanda dan sifat keagamaan yang terakhir pada anak. Berbeda dengan rasa kagum yang ada pada orang dewasa, maka rasa kagum pada anak ini belum bersifat kritis dan kreatif.
Mereka hanya kagum terhadap keindahan lahiriah saja. Hal ini merupakan langkah pertama dari pernyataan kebutuhan anak akan dorongan untuk mengenal sesuatu yang baru (new experience). Rasa kagum mereka dapat disalurkan melalui cerita-cerita yang menimbulkan rasa takjub.
No comments:
Post a Comment